Selasa, 02 Juni 2020

Es Kopi dan Teh Lemon

Aku melangkahkan kaki menuju tempat yang sudah kita tentukan. Aku memilih tempat seperti biasa, pojok dekat jendela. Sembari menunggu es kopi ku datang, aku membuka pesan darimu.

'Aku sebentar lagi sampai.'

Aku tersenyum dan membalas 'Iya hati-hati.'

Setelah menunggu beberapa menit kau datang bersamaan dengan es kopi ku. Kita saling bersalaman. 

"Kamu apa kabar? Sudah lama sekali ya..."

"Iya, baik kok. Kamu sehat-sehat kan?" Tanyaku balik. 

Aku melihat sekarang kau tambah berisi dan segar. Jambang tipismu yang sengaja kau rawat juga menambah kesan dewasa. Kacamata cupu mu sudah kau ganti menjadi bingkai hitam tegas. Sepertinya kau banyak berubah.

"Sehat banget. Oh ya, langsung ke poin nya ya. Aku sebenernya mau nanya sesuatu sama kamu. Cuma sih, nggak enak kalau hanya lewat whatsapp kan?"

"Nanya apa sih? Serius banget." Kataku sambil menyesap es kopi. Kulihat mas pelayan datang membawa teh dengan lemon. Aku tahu sekali kau tidak bisa minum kopi. Aku tersenyum simpul, aku masih mengingat semua tentangmu.

"Masih belum bisa minum kopi?" 

"Ia sama seperti aku nggak bisa lupa sama kamu."

Kita tertawa. Lalu kau melanjutkan kalimatmu.

"Aku masih berharap kamu punya perasaan yang sama kayak waktu itu. Apa kamu sudah punya pasangan sekarang?"

Aku mengangkat alisku dan tertawa. Aku menaruh tanganku yang lain dipunggung tanganku, menyembunyikan sesuatu yang sudah tersemat indah disana. 

"Kenapa baru sekarang bertanya? Selama ini kamu kemana aja?" 

Kau menyandarkan punggung ke kursi. Semula raut wajahmu yang ingin tahu menjadi muram.

"Iya maafin aku. Aku baru sadar waktu kamu pergi. Aku akui aku salah waktu itu, mengabaikan perasaan kamu. Sekarang aku sadar siapa yang sebenarnya tulus sama aku."

"Kamu baru sadar sekarang? Ya kadang-kadang memang nyadarnya dibelakang, aku mikirnya juga apa kamu waktu itu benci aku pas aku bilang aku ada rasa, karena nggak sedikitpun kamu merespon aku." 

Aku menyesap kembali es kopiku. Matamu melirik ke arah jari tanganku. Terlihat kau mengambil nafas panjang.

"Cantik."

"Perempuan selalu cantik kok." balasku. 

"Cincinnya."

Kita bertatapan. 

"Sejak kapan, kamu cepat sekali berubah ya."

Aku menggelengkan kepalaku, "Apa aku harus bilang ketika aku udah jatuh cinta sama yang lain? Apa aku harus tetap sama mencintaimu seperti biasanya walau 2 tahun kamu nggak ada kabar?"

Kau mendengus kesal, memainkan gelas gula disebelah cangkirmu. Menuangkannya sedikit ke dalam cangkir lalu mengaduknya. 

"Ya tapi...tapi apa secepat ini? Nggak ada kesempatan?"

"Hah? Kesempatan apa lagi? Kamu minta kita ketemu kan? Aku penuhi kok." Aku mengganti posisi dudukku, menyilangkan kedua kakiku.

"Sejauh mana?"

Kau menatap mataku tajam, seperti kesal dan tidak rela. Kau merasa 2 tahunmu kemarin bukanlah hal yang lama, bahkan kau malah meminta kesempatan. Kesalku karena kau mengabaikanku sudah hilang bersamaan dengan ketidakhadiranmu dihidupku selama 2 tahun kemarin.

"Apa aku harus jelasin, 2 tahun kemarin buatku adalah masa-masa yang aku paling benci?"

"Ya aku nanya udah sejauh mana. Baru 2 tahun loh kamu udah bisa berpindah hati."

Aku tersenyum dan membuang pandanganku keluar, menatapmu kembali dan berusaha menyembunyikan rindu.

"Ya terus, selama 2 tahun kamu menghilang, kamu nyuruh aku nungguin kamu sampai kamu nyadar? Kamu nyuruh aku ngelihat kamu sama yang lain gitu, disaat kamu tahu kalau aku sudah ungkapin rasa ke kamu tapi kamu mengabaikan?"

Kau menyesap teh lemonmu. Menghabiskannya setengah.

"Hey, aku nggak pernah punya pacar selama 2 tahun kemarin. Mereka cuma teman. Aku kaget dan belum siap saja kemarin atas perasaan kamu. " Kau meyakinkan ku.

"Terus apa hubungannya? Mau kamu gak pacaran dan mereka cuma temen kamu, apa pantes aku nungguin kamu? Please, kamu ngilang tanpa kabar dan nggak ada komunikasi sama sekali. Sekarang kamu nanyain arti ini ke aku, kenapa terlambar banget sih nyadarnya?" Kataku menggebu sambil memperlihatkan cincin yang tersemat dijari manisku. 

Kau menunduk, melempar pandangan dan kembali menatapku. 

"Aku nggak ngerti jalan pikiranmu. Cukup aku simpulkan kemarin kamu sudah menganggap aku nggak ada. Jadi, ketika ada yang datang aku persilakan. Buktinya dia bisa membuat aku bangkit dan percaya lagi sama cinta."

Wajahmu tak bisa menyembunyikan kekesalan dan kekecewaan. 

"Maaf..."

"Nggak perlu minta maaf, waktu itu aku hanya jatuh cinta ke kamu diwaktu yang salah aja. Sekarang semuanya sudah berbeda. Kamu datang disaat aku sudah menemukan orang yang lebih menghargai aku. Penantianku untukmu kemarin kuanggap selesai. Tak ada yang bisa di lanjutkan."

"Jadi, selama ini kita ternyata saling menunggu ya. Sayangnya aku nggak nyadar aja udah nyakitin kamu. Maafin aku, terima kasih waktu itu udah jujur ke aku, tapi aku yang bodoh nggak siap dan nggak ngehargain kamu. Sekarang aku tahu rasanya, gini yah."

"Semua sudah terlambat. Sudah berlalu. Selesai." 

Kita saling bertatapan dan bersalaman.

Dan hari itu kita akhiri dengan saling memaafkan, mengikhlaskan dan menerima. Bahwa menghargai perasaan seseorang itu perlu, jangan sampai melewatkannya bahkan akhirnya menyesal. Ketika orang itu sudah pergi dan menemukan yang baru, bersiap atau menyesal.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar