Selasa, 30 Desember 2025

Rain, Coffee, and Second Chances

Langkahmu terdengar dari sini 

Aku melihatmu buru-buru masuk ke dalam karena hujan diluar sangat deras 

Memesan sebentar ke kasir lalu berjalan ke arahku 

"Maaf ya telat, hujannya deras sekali"

Latte ku sudah tinggal setengah, aku tersenyum. "Nggak apa-apa"

Kau bergegas membuka jaketmu dan menaruh ponsel dimeja. Kau tersenyum. 

Kucium aroma parfum dari tubuhmu saat kau mengibaskan jaketmu dan melipatnya.

"Hai, apa kabar?" Kau mengulurkan tangan dan tersenyum ke arahku. 

"Seperti yang kamu lihat. Aku baik sekali. Kamu gimana?" 

Kau membuka kacamatamu dan mengelapnya, lalu tersenyum "Membaik karena ketemu kamu."

Aku tertawa kecil, "Makanya kalau kangen bilang."

Aku tahu sejak terakhir kali kita bertemu, kau dan aku tidak pernah membicarakan hal ini lagi. 

Kesannya hanya aku yang ingin perasaan ini terbalaskan, sedangkan kau tidak.

Aku masih ingat rasanya ketika kau mulai semua pembicaraan tentang kita

Yang kutangkap saat itu arahnya tidak ada kejelasan, yang membuatku mundur dan akhirnya memilih melupakanmu 

"Makanya aku ajak kamu ketemuan hari ini. Terima kasih ya udah mau dateng."

Kau membenahi rambutmu sebentar dan waiters datang dengan coklat panas no sugar favoritmu.

"I want to say something..."

"Ya?" aku menatap matamu

"I want to fix our relationship, can't we?" 

Aku tersenyum dan melihat ke arah luar. 

"Why? Apa alasannya untuk aku bisa nerima kamu lagi Ben?" Mataku menatap matamu, sekali lagi matamu menunjukan cinta itu 

"Kita perbaiki semuanya dan aku janji ke kamu nggak akan mengulang semuanya."

"Ben... we're divorced. Kenapa hal itu nggak kamu ulang selagi belum ketok palu?" Aku meyakinkan kau untuk mengingat.

"I know, it's my mistakes. Aku terlalu terburu-buru memutuskan sesuatu." Mata Ben seolah berharap padaku untuk mengiyakan ajakannya rujuk.

"Ben..."

"Please, i want you. Aku akan perbaiki semuanya, aku janji. Aku nggak bisa kalau nggak sama kamu."

"Ben..."

"Don't say anything please just give apologize to me."

"Ben?? Bisa gak kamu biarin aku bicara dulu?" 

Aku menghela napas, menahan rasa sesak yang tiba-tiba naik ke dada.

“Ben… masalah kita itu bukan soal orang ketiga,” kataku pelan tapi tegas. “Nggak pernah.”

Ben mengernyit, seolah belum sepenuhnya paham.

“Masalahnya kamu diam,” lanjutku. “Kamu ngilang tiap ada masalah. Kamu milih tutup diri, ninggalin aku sendirian dengan pikiranku sendiri.”

“Aku cuma butuh waktu,” sanggahnya cepat.

“Dan aku butuh kejelasan,” balasku. “Tiap kamu diam berhari-hari, aku bukan ngerasa kamu lagi nenangin diri. Aku ngerasa ditinggal. Dihukum tanpa tahu salahku apa.”

Ben menunduk. Tangannya mengepal di atas meja.

“Aku capek nebak-nebak perasaan kamu, Ben. Capek minta dijelasin. Capek jadi orang yang selalu mulai ngobrol, selalu minta maaf duluan supaya keadaan balik normal.”

Suasana di antara kami hening. Tapi hening yang ini berbeda—aku yang memilihnya.

Ben menatapku lagi, matanya berkaca-kaca. “Aku nggak pernah bermaksud nyakitin kamu.”

“Aku tahu,” jawabku jujur. “Tapi niat baik nggak selalu bikin dampaknya jadi baik.”

Aku menatap lantai cukup lama sebelum akhirnya kembali duduk. Hujan masih turun, pelan tapi konsisten, seperti hatiku yang belum sepenuhnya tenang.

“Ben… silent treatment kamu itu bukan hal kecil,” kataku pelan. “It made me feel invisible.”

“I know,” jawabnya cepat, kali ini tanpa memotong. “And I’m so sorry I made you feel that way.”

Aku menatapnya. “Setiap kali kamu diem, aku ngerasa aku nggak cukup penting buat diperjuangin. I was talking to the walls, Ben.”

Ben menghela napas dalam. “I used to think being quiet was better than fighting. Tapi ternyata, my silence was hurting you more than words ever could.”

Ia menatapku lurus, suaranya bergetar tapi mantap.

“I’m learning now. Kalau aku marah, aku akan bilang. Kalau aku butuh waktu, aku akan jelasin. No disappearing, no shutting you out.”

Aku menggigit bibir. “Kamu tau kenapa aku capek banget?”

“Because you were alone… even when you weren’t supposed to be,” jawabnya lirih.

Aku terdiam. Jawaban itu tepat.

Ben meraih tanganku, ragu, seolah takut aku akan menariknya kembali.

“I don’t want to lose you again,” katanya. “Not because I’m lonely, but because I finally understand how to love you properly.”

“Aku takut, Ben,” jujurku. “Takut balik ke siklus yang sama.”

“That’s fair,” katanya. “But please let me prove it. Not with promises—dengan tindakan. If I ever go silent again, you have the right to walk away. No excuses.”

Aku menatap mata itu. Kali ini tak hanya cinta yang kulihat, tapi kesadaran.

“Kita nggak harus langsung sempurna,” kataku pelan. “But I need consistency. Communication. Effort.”

He nodded. “You’ll get all of it. Step by step. I choose you—every day, consciously.”

Air mataku jatuh tanpa suara. Aku tersenyum kecil di sela tangis.

“Okay,” kataku akhirnya. “Kita coba lagi. Slowly.”

Ben berdiri, duduk disebelahku dan menarikku ke dalam pelukannya, hangat dan penuh hati-hati.

“Thank you for giving us another chance,” bisiknya.

Aku menutup mata. Untuk pertama kalinya, aku tidak merasa sendirian saat diam.

Ben mendekat pelan, seolah menungguku memberi ruang. Tangannya masih menggenggam jemariku, hangat, tidak tergesa.

He looked at me, really looked—seakan ingin memastikan aku siap.

Then he leaned in.

Kecupan itu singkat, lembut, hampir ragu. Bibirnya menyentuh bibirku seperti sebuah permintaan, bukan tuntutan. Tidak ada nafsu, hanya penyesalan dan harapan yang disatukan dalam satu detik yang hening.

Aku menutup mata, membiarkan diriku merasakan kembali sesuatu yang lama hilang rasa aman.

Ben menarik wajahnya sedikit.
“I won’t disappear again,” bisiknya. “I promise I’ll stay… even when things get hard.”

Aku mengangguk pelan, dahi kami masih saling menempel.

“Then stay,” jawabku lirih. “Don’t go silent on me ever again.”

He smiled, a soft one.

“I won’t. Not anymore.”

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, diam di antara kami bukan lagi luka—melainkan jeda yang penuh makna.

Hujan di luar justru makin deras, mengetuk kaca kafe tanpa henti. Aku melirik ke arah pintu, lalu kembali menatap Ben.

“Looks like we’re stuck here,” ujarnya pelan, ada senyum kecil di sudut bibirnya.

Aku menatap hujan yang jatuh tanpa jeda. “Lucu ya,” kataku lirih. “Dulu, yang bikin aku kedinginan itu bukan hujan. Tapi diam kamu.”

Ben terdiam sejenak, lalu mengangguk. “And now I’m here. Talking. Staying.”

Kami duduk saling mendekat, berbagi kehangatan sederhana—bukan cuma dari jaket atau genggaman tangan, tapi dari kehadiran yang akhirnya utuh. Di luar hujan masih turun, tapi di antara kami, ada sesuatu yang perlahan menghangat kembali.

Aku menyandarkan kepala pelan ke bahunya. Tidak ada kata-kata besar, tidak ada janji berlebihan. Just quiet, warmth, and a choice to stay.

Dan kali ini, Ben tidak diam. 

“Never choose silence as a weapon.
Because love doesn’t need perfect words it needs presence, honesty, and the courage to stay.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar