Sabtu, 30 Januari 2016

Love Pain



Sikapmu masih seperti kemarin. Dingin. 
Tapi kali ini semakin dingin dan malah kau mengacuhkan perkataanku. Kau masih saja diam dan malas berbicara kepadaku. Apapun yang aku ucapkan seakan tak ada artinya dihadapanmu.

 Kau bilang kau tak mencintai dia tapi mencintaiku.

Tapi yang aku rasakan bukan seperti itu.

Kau berbohong.

Kau  tidak berani menatapku. Dan jelas-jelas kau menyembunyikan sesuatu dariku.


Sudah berapa kali kopi kau pesan, sudah berapa kali pembicaraan kita sama saja. Untuk hari ini aku kalah lagi. Kau menyuruhku lekas pulang karena hari akan hujan. Kau pergi dengan mantelmu dan kembali meninggalkan aku sendirian, setelah kau membayar pesanan kita.

 ***
Malam ini aku sudah tidak tahan, aku meluapkan segala kekesalanku dan tangisanku menjadi-jadi.

Aku dengar ketukan pintu dari luar, aku tidak mungkin membuka pintu. Dengan keadaan kacau seperti ini. Aku tetap meraung-raung. Memikirkan bagaimana kelanjutan hubunganku. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.


Ketukan itu berhenti.


Kembali aku meratapi diriku. Apakah semudah ini kau meninggalkanku dan memilih wanita itu? Beberapa saat kemudian ketukan itu kembali terdengar. Aku memberanikan diri untuk membukanya. Dan yang kulihat adalah tetangga sebelahku, Jim.


“aku mendengar tangisan, apa kau baik-baik saja? Kalau kau butuh teman untuk berbagi aku bisa.”


Aku kembali menangis dan menyuruhnya masuk.


Di apartement tengah kota ini hanya beberapa tetangga yang aku kenal. Salah satunya Jim. Dia tetangga baruku tapi dia sudah seperti kenal lama denganku. Aku memulai ceritaku. Jim terdiam dan mendengarkan ceritaku baik-baik. Kemudian…


“Kalau kau sudah tidak tahan jangan teruskan ini. Kumohon.”

“Tapi aku masih mencintainya. Berulang kali seperti ini tapi cintaku malah semakin besar Jim. Apa arti semua ini?”, aku menangis lebih keras.


Jim mendekatiku dan memegang tanganku.


“Karena terlalu banyak air mata yang keluar dari mata indahmu, banyak jeritan yang tidak pernah ia dengar, banyak luka yang ia tidak pernah mau sembuhkan. Semakin hancur kau dengan keadaan ini, semakin ia sering menyakitimu lebih. Tinggalkan atau kau terluka hingga kau lelah mencintainya.” 

Jim menatapku nanar dan menghapus air mataku.


Oke, aku tahu ini tidak seperti biasanya. Jim tidak seperti ini kemarin, tapi dengan begini Jim menyadarkanku akan segalanya. Aku harus bilang yang sesungguhnya dan pergi dari hidupnya.


***
Aku masih duduk dengan coklat manis hangat sambil menunggu ia datang. Aku akan katakana apa yang semuanya aku rasakan. Akan lebih baik aku mengakhiri ini semua.


Dari jendela café aku dapat melihat jelas buliran air hujan yang jatuh, aku rindu suasana seperti ini. Benar-benar indah. Dari kursiku aku melihat kearah pintu masuk, ia sudah datang. Melipat payung dan segera melemparkan pandangan kesegala arah mencariku. Ia memesan ke kasir lalu menuju ketempatku.


Untuk kesekian kalinya ia masih tetap dingin dan tampak tak terlalu suka dengan pertemuan ini. Aku memulai pembicaraan.


“Sudah berapa kali kita seperti ini, sejak kau bertemu dengan wanita itu.”

Ia sepertinya kaget aku berani bicara seperti ini. Ia terlihat malas membahas percakapan ini.


“sudah ku bilang jangan bahas tentang wanita itu, aku tidak mencintainya.”


“tapi kau berubah. Dimana dirimu yang dulu?”

Ia melihat kearahku. Untuk pertama kalinya setelah kejadian itu dia tidak pernah menatapku seperti ini. “apa maksudmu?”


“aku ingin semua ini berakhir kalau kau terus begini padaku.”


“kau mau mengakhiri semuanya?” tanyanya padaku, tangannya memegang punggung tanganku.


Aku mengusap air mataku yang kembali jatuh. Aku sebenarnya masih mencintainya dan tak mungkin mengatakan ini, tapi benar kata Jim semakin aku mencintainya semakin banyak luka yang ia beri.


“Aku sudah berkali-kali terluka karenamu, kau tidak pernah mau merubah sikapmu. Kau selalu mengacuhkanku dan membiarkan aku menangis karenamu. Kau selalu bilang kau tak mencintai wanita itu tapi kau terus saja menemuinya. Aku sudah berkali-kali melihatmu bersamanya, tapi ketika kau bertemu denganku seakan tidak ada apa-apa. Kau menyembunyikannya dariku, walau aku tahu aku diam saja. Aku sudah cukup terluka dengan semuanya.”

ia tak bisa berkutik, ia tak menyangka kalau aku mengetahui semuanya.


“Sekarang sudah jelas. Terima kasih atas semuanya.”


Aku berlalu keluar dari café dan membiarkan hujan membasahi tubuhku.
 
to be cont-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar